Di
ujung selatan Aceh, di tepi air Pantai Pasai yang tenang, terbentang pasir
putih yang menyatu dengan ombak yang terus-menerus bercerita. Di balik
keindahan alam itu, tersembunyi sebuah kisah perang yang melibatkan hati-hati
pejuang yang menentang cengkeraman penjajah Belanda.
Cerita
ini dimulai pada sebuah pagi di tahun 1873, ketika perang melanda bumi Aceh.
Angin sepoi-sepoi laut membawa aroma asin yang menyatu dengan semangat
perlawanan yang berkobar di kalangan penduduk setempat.
Teuku
Ibrahim: "Bu Cut, malam ini suasana begitu tegang. Semangat perjuangan
kita tetap menyala seperti api di dalam hati kami."
Cut
Nyak Dien: "Kau benar, Teuku Ibrahim. Belanda telah berusaha keras untuk menginjakkan
kakinya di tanah Aceh, tetapi semangat perjuangan kita takkan pernah
pudar."
Teuku
Ibrahim: "Bu Cut, saya terinspirasi oleh keteguhan dan keberanian Anda.
Anda adalah sosok yang begitu kuat dan inspiratif."
Cut
Nyak Dien tersenyum. "Terima kasih, Teuku Ibrahim. Di tengah perang ini,
kita adalah satu tim yang harus selalu bersatu, tanpa memandang jenis kelamin.
Bersama, kita bisa mengusir penjajah."
Teuku
Ibrahim: "Apakah Anda memiliki pesan khusus untuk kami, Bu Cut?"
Cut Nyak
Dien: "Ya, jangan pernah lupa bahwa perjuangan ini adalah hak kita untuk
menjaga tanah air dan kebebasan kita. Semua yang kita lakukan, kita lakukan
untuk Aceh. Berjuanglah dengan segenap jiwa dan ragamu, dan kita akan mencapai
kemenangan."
Keduanya
duduk di bawah langit malam yang cerah, merenungkan perjuangan yang terus
berlanjut dan tekad yang tak akan pernah luntur. Setelah itu Teuku Ibrahim pun
pergi ke keluar untuk nongkrong. Setelah itu terdapat seorang bernama Ali yang
mendekati Cut Nyak Dien.
Ali:
"Bu Cut, malam ini bintang-bintang bersinar sangat terang. Semoga itu
adalah pertanda baik bagi perjuangan kita."
Cut Nyak
Dien: "Ya, Ali. Kita harus tetap optimis dan gigih dalam melawan penjajah.
Mereka telah lama menginjakkan kakinya di tanah Aceh, tetapi semangat perjuangan
kita tidak akan pernah padam."
Ali:
"Bu Cut, saya belajar banyak dari Anda. Anda adalah contoh yang luar biasa
bagi kami semua, terutama para wanita di Aceh."
Cut Nyak
Dien tersenyum hangat. "Terima kasih, Ali. Semua orang, tanpa memandang
jenis kelamin, memiliki peran penting dalam perjuangan ini. Kita semua harus
bersatu dan melawan penjajah dengan tekad yang kuat."
Ali:
"Apakah ada pesan khusus yang ingin Anda sampaikan pada kami, Bu
Cut?"
Cut Nyak
Dien: "Ingatlah, keberanian datang dari dalam hati. Jangan pernah
menyerah, meskipun rintangan terasa sangat berat. Hidup kita adalah perjuangan,
dan Aceh adalah tanah air kita yang harus kita bela dengan harga apapun.
Bersama-sama, kita akan meraih kemerdekaan."
Mereka
berdua duduk di bawah bintang-bintang malam, merenungkan kembali apa yang
mereka perjuangkan.
Ali : “Bu
Cut, Saya pergi dulu ya, saya mau kembali mengistirahatkan diri.”
Cut Nyak
Dien : “Iya nak.”
Hari pun
berlalu saat Teuku Ibrahim bersantai sembari menunggu kawannya Ali megambil
makanan untuknya. Tiba-Tiba pasukan Belanda menyerang desa tempat Teuku Ibrahim
bermarkas. Teuku Ibrahim pun bergegas
untuk memimpin pasukannya dan pertempuran sengit pecah di antara dedaunan hutan
yang lebat. Teuku Ibrahim memimpin pasukannya dengan gagah berani, menyerang
dan bertahan dengan keberanian yang tak tergoyahkan.
Namun,
dalam pergolakan pertempuran, Teuku Ibrahim terluka parah. Sebuah peluru musuh
menembus tubuhnya, tetapi dia tetap bertahan dengan tegar. Ketika pertempuran
mereda, dia ditemukan tergeletak di bawah pohon beringin yang selama ini
menjadi saksi bisu perjuangannya.
Rekan-rekannya
segera berkerumun di sekitar Teuku Ibrahim yang terbaring lemah. Wajahnya yang
tegar dan matanya yang penuh semangat memberi keberanian pada pasukannya. Dalam
napas terakhirnya, dia menyampaikan pesan terakhir kepada para pejuangnya.
"Demi
tanah air ini, teruslah berjuang. Ingatlah, keberanian dan tekad kita adalah
cahaya yang tak akan pernah padam."
Setelah
mengucapkan kata-kata terakhirnya, Cut Nyak Dien pun berlari ke arah Teuku
Ibrahim setelah mengetahui bahwa mayat Ali tergeletak saat Cut Nyak Dien ingin
menghampiri Teuku Ibrahim.
Cut Nyak
Dien khawatir : “Suami ku apa kau tidak apa-apa? Suamikuuu.”
Teuku
Ibrahim : “Istrikuu”
Dengan
suara yang letih Teuku Ibrahim berkata
“Ki-kita
masih bisa mempertahankan negeri kita dari sekutu biadap itu. Ja-jadi istriku
lanjutkan perjuangan kita. Itu-itu adalah pesan... pesan.. yang kutinggal...”
Cut Nyak
Dien : “Suamiku?”
Cut Nyak
Dien : “Suamiku?”
Cut Nyak
Dien : “Suamiku?”
Cut Nyak
Dien pun melihat suaminya meninggal di tangannya sendiri, tepat berada di
hadapannya.
“Belanda...”
“Belanda...”
“Siapkan
mentalmu”
“Akan
kubasmi engkau hingga ke akar-akarnya.”
“Tamatlah
riwayatmu Belanda.”
Setelah
itu Cut Nyak Dien pun bertekad untuk mengalahkan Belanda. Dendam dan amarah
dari Cut Nyak Dien pun membara. Demi menuntaskan kematian sang suami. Sementara
itu hari demi hari, perang demi perang nama Cut Nyak Dien pun dikenal oleh sekutu
sehingga Cut Nyak Dien pun dihormati dan disegani. Sementara itu seorang yang
bernama Teuku Umar yang mengagumi Cut Nyak Dien yang hanya bisa tersampaikan melalui
surat surat pun bertemu secara langsung dengan Cut Nyak Dien.
Teuku Umar
: “Bu Cut.”
Cut Nyak
Dien : “Iya mas, ada apa ya kok sampai memanggil saya?”
Teuku Umar
: “Begini Bu Cut, Saya telah memendam perasaan saya kepada Bu Cut. Keberanian,
Kegigihan, Kecantikan dan aspek lainnya membuat saya kagum dan terpesona Bu Cut.
Mungkin ini terdengar egois bagi Bu Cut karena saya tau ibu sudah bertunangan,
namun apakah ibu mau bertunangan lagi dengan saya?”
Cut Nyak Dien
: “Terima kasih atas lamarannya pak Umar, saya masih mengingat jelas kenangan
saya dengan Ibrahim. Saya juga hanya menganggap mu sebagai rekan atau kawan
seperjuangan saja.”
Teuku Umar
: “Tak masalah Bu Cut.. Walau hanya menganggap saya sebagai kawan seperjuangan
maka saya pun masih menerima ibu menjadi istri saya. Saya juga tau Ibrahim
masih membekas di hati ibu.. Namun apakah ibu tidak kesepian? Saya bisa
menemani ibu walau saya dianggap kawan seperjuangan.”
Cut Nyak
Dien : “Apa yang kau katakan itu tidak salah Umar. Saya juga merasa kesepian
karena ditinggal oleh Ibrahim. Namun apakah engkau yakin? Aku hanya menganggapmu
sebagai kawan seperjuangan saja?”
Teuku Umar
: “Iya, Calon Tunanganku.’
Setelah Cut Nyak Dien menerima lamaran dari Teuku Umar mereka menikah dan bertekad untuk berjuang bersama melawan Belanda.
“Suamiku mari kita berjuang bersama sampai akhir hayat” ketika Cut Nyak Dien berkata kepada suaminya.
Lalu mereka bersama sama melawan tetapi dengan cara yang berbeda kali ini Teuku Umar ingin menipu Belanda dengan cara ia mendekatkan diri kepada Belanda dan menyerahkan dirinya pada tanggal 30 September 1893. Bukan hanya ia saja tetapi pasukannya yang berjumlah 250 orang juga ikut menyerahkan diri pada pihak kolonial Belanda.
“Pasukanku mari kita menyerahkan diri pada Belanda lalu setelah itu kita ambil persenjataan mereka” kata Teuku Umar pada pasukannya.
Rencana Teuku Umar pun berhasil untuk mengelabuhi pihak Belanda. Walau sempat dianggap sebagai penghianat Aceh tetapi Teuku Umar dan Cut Nyak Dien tak gentar karena mereka percaya hanya dengan cara ini mereka bisa mengalahkan Belanda. Ditengah peperangan suasana Belanda yang marah pada Teuku Umar dan pasukannya Belanda yang mendatangi mereka suasana disini sangat mencekam tetapi pasukan Teuku Umar tidak gentar sekalipun karena mereka sudah memiliki persenjataan yang cukup dari Belanda. Pada akhirnya Teuku Umar pun gugur di medan perang.
Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien pun berjuang sendirian. Tetapi markas Cut Nyak Dien diketahui oleh pihak Belanda.
“Pasukanku dari mana mereka bisa tahu keberadaan ku”
“Apakah salah satu dari kalian mengkhianat kepadaku !” tanya Cut Nyak Dien pada pasukannya.
Tetapi mereka semua tidak merasa mengkhianati Cut Nyak Dien. Lalu Cut Nyak Dien pun mulai curiga kepada panglima pasukannya.
“Apa jangan jangan, sang panglima yang memberitahukan keberadaan ku pada pihak Belanda!” Ucap Cut Nyak Dien yang terlintas dipikirannya.
Lalu Belanda menyerbu markasnya dan langsung menangkap Cut Nyak Dien. Dan mengasingkan dia di Sumedang. Selama masa pengasingannya ia mengakhiri perjuangan selama hidupnya. Lalu ia diakui sebagai pahlawan pada tanggal 2 Mei 1964. Saat ia diasingkan ia dibawa bersama tahanan lainnya. Lalu saat itu ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas.
“Cut Nyak Dien engkau adalah seorang ahli Islam”
“Itu terlihat dari bagaimana Engkau bersikap”
“Pada saat seperti ini pun, engkau masih bisa menyebarkan kebaikan dan menjalankan kewajibanmu sebagai umat Muslim” kata Ulama Ilyas
Cut Nyak Dien pun berkata “terimakasih atas pujiannya Syekh”
“Akan kujuli Engkau sebagai Ibu perbu” kata Ulama Ilyas.
Pada saat itu usia Cut Nyak Dien pun sudah terbilang cukup tua bahkan matanya pun sudah mulai rabun. Akhirnya Cut Nyak Dien pun meninggal pada tanggal 6 November 1908 karena usianya yang mulai renta. Ia pun dimakamkan di tempat pengasingannya.
Ket warna
Vanu & Gio
Willy
Louisa & Felicia